Maaf, Sakit Anda Tidak Terdaftar dalam Sistem Kami
Di sebuah negeri penuh program mulia, ada satu keajaiban: manusia hanya diperbolehkan sakit sesuai dompet, bukan sesuai kebutuhan. Hebat, bukan? Ini negeri yang katanya punya "Kartu Indonesia Sehat" nama yang luar biasa meyakinkan, setidaknya sampai Anda benar-benar mencoba menggunakannya.
Bayangkan, seorang warga datang ke rumah sakit. Keluhannya bukan hanya rasa sakit, tapi juga rasa khawatir: "Saya tidak punya BPJS, tapi saya punya KIS." Dan pihak rumah sakit, dengan senyum sehangat lantai UGD jam 3 pagi, berkata:
"Wah, untuk sekarang kami belum bisa melayani. Datang saja besok, ya."
Besok? Sayangnya, yang datang justru malaikat pencabut nyawa. Ternyata malaikat itu lebih cepat dari sistem antrian rumah sakit.
Tak perlu risau, karena pihak rumah sakit sudah memberikan klarifikasi di media sosial pemerintah kota. Mereka menjelaskan dengan sangat elegan:
"Kami tidak menolak, hanya menyarankan datang di lain waktu."
Begitu halusnya, sampai-sampai kematian pun terasa seperti kesalahpahaman kecil dalam jadwal.
Dan yang lebih mencengangkan, kepala rumah sakit membela diri dengan penuh percaya diri, seakan kematian itu hanya salah paham administratif. Mungkin mereka pikir, nyawa manusia bisa ditukar dengan surat keterangan miskin atau slip gaji.
Apakah ini bagian dari visi baru? "Pelayanan kesehatan berbasis saldo dan nasib"?
Slogan barunya bisa jadi:
"Sehat itu hak semua warga selama anggaran kami cocok dan Anda punya kartu yang benar."
Program kesehatan gratis masih tetap jadi dongeng favorit, dibacakan para pemimpin setiap kali kampanye, lalu dilipat rapi bersama baliho-baliho usang sesudahnya.
Dan pada akhirnya, kita bertanya:
"Apakah orang miskin dilarang sakit?"
Tentu tidak. Mereka boleh sakit, asal jangan terlalu parah. Kalau sampai sekarat, ya itu sudah di luar tanggungan.
Selamat datang di negeri yang penuh kartu, tapi minim kepastian. Di mana birokrasi lebih panjang dari napas terakhir pasien, dan empati tertinggal di ruang tunggu.
---
