Ketahanan Pangan dan Lemahnya Daya Beli Masyarakat : Tinjauan Ekonomi dan Solusi Islam
Oleh: Rosmini Alid S.Pd
Ketahanan pangan merupakan salah satu indikator penting dalam menjamin kesejahteraan masyarakat dan kestabilan sebuah negara. Di Indonesia, isu ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan daya beli masyarakat yang rendah.
Kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak seimbang dengan pendapatan menyebabkan jutaan orang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, terutama pangan bergizi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,8 juta jiwa atau sekitar 9,36% dari total populasi (BPS, 2024). Sementara itu, Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) 2023 menempatkan Indonesia di peringkat 63 dari 113 negara dengan skor 59,2, menunjukkan masih lemahnya sektor pangan nasional (The Economist Intelligence Unit, 2023).
Ketahanan pangan mencakup ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun kenyataannya, masih banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki akses ekonomi yang memadai untuk memperoleh pangan bergizi. Daya beli masyarakat yang rendah menjadi penghalang utama dalam menciptakan ketahanan pangan yang merata. Data BPS mencatat bahwa pada Februari 2024, tingkat inflasi tahunan sebesar 2,75%, dengan inflasi bahan makanan mencapai 6,15%, menunjukkan tekanan besar pada konsumsi rumah tangga berpendapatan rendah (BPS, 2024). Selain itu, Bank Indonesia mencatat bahwa daya beli riil masyarakat mengalami penurunan akibat stagnasi upah minimum dan meningkatnya harga kebutuhan pokok.
Masyarakat miskin, yang jumlahnya cukup signifikan, menjadi kelompok paling rentan terhadap gejolak harga. Akibatnya, banyak yang terpaksa mengonsumsi makanan murah namun rendah gizi, yang berdampak pada meningkatnya angka stunting. Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa prevalensi stunting nasional pada tahun 2023 masih berada di angka 21,6% (Riskesdas, 2023), jauh dari target WHO di bawah 20%.
Daya beli yang rendah juga menyebabkan menurunnya konsumsi domestik, padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 52% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (BPS, 2024). Bila kondisi ini terus berlangsung, bukan hanya ketahanan pangan yang terganggu, tapi juga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Dampak Penerapan Kapitalisme
Ada banyak faktor yang menyebabkan permasalahan ketahanan pangan dan turunnya daya beli, seperti inflasi, pelemahan nilai tukar rupiah, penurunan pendapatan riil masyarakat, PHK, pengangguran, kenaikan pajak, biaya hidup yang meningkat, serta kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM. Namun, semua faktor tersebut pada dasarnya berakar dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya permasalahan-permasalahan tersebut. Rinciannya adalah sebagai berikut.
Pertama, sistem kapitalisme berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan kesejahteraan. Akibatnya, kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir elite, yaitu para pemilik modal. Pemerintah sibuk membangun infrastruktur di pusat-pusat ekonomi demi menarik investasi, tetapi abai terhadap pembangunan infrastruktur di pedesaan. Akibatnya, distribusi pangan terganggu, harga pangan lokal menjadi mahal, dan kalah bersaing dengan produk impor. Kondisi ini menyulitkan petani untuk sejahtera, padahal menurut data BPS, sektor pertanian adalah sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Hal yang sama terjadi pada buruh. Pemerintah lebih khawatir kehilangan investasi asing daripada memperjuangkan upah layak bagi rakyatnya. Demi menarik investor, pemerintah tega mengubah formulasi upah dalam UU Cipta Kerja agar sesuai dengan keinginan pemilik modal sehingga menyengsarakan kaum buruh.
Tidak heran jika laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019 menyebutkan bahwa 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Ini adalah akibat dari sistem kapitalisme yang menekankan pertumbuhan dan mengabaikan pemerataan. Ketimpangan yang makin tajam berdampak pada lemahnya daya beli masyarakat.
Kedua, sistem ekonomi kapitalisme membebaskan kepemilikan atas apa pun. Akibatnya, sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dikelola negara demi kemaslahatan rakyat malah dikuasai oleh pemilik modal, baik asing maupun lokal. Dampaknya, rakyat kesulitan mengakses kebutuhan pokok. Contohnya, privatisasi air bersih membuat banyak warga tidak bisa menikmati akses air yang layak.
Kebebasan kepemilikan juga mendorong liberalisasi dan privatisasi di berbagai sektor strategis sehingga pendapatan negara dari SDA menjadi minim. Negara pun terpaksa mengandalkan pajak dan utang. Pajak yang tinggi jelas membebani rakyat dan makin melemahkan daya beli.
Ketiga, sistem kapitalisme memosisikan negara hanya sebagai regulator, bukan pengurus urusan umat. Pemerintah hanya membuat aturan, sedangkan swasta yang menyelenggarakan berbagai layanan dan kebutuhan masyarakat. Rakyat pun diposisikan sebagai konsumen yang hanya bisa mengakses layanan jika memiliki uang. Hanya warga yang memiliki kekayaan yang dapat hidup layak, sedangkan rakyat miskin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Lebih parah lagi, aturan-aturan yang dibuat sering kali berpihak kepada pemilik modal. Dalam sistem demokrasi kapitalistik, kekuasaan cenderung dikuasai oleh oligarki. Contohnya, meski UU Cipta Kerja menuai penolakan dari rakyat, undang-undang tersebut tetap disahkan karena kuatnya kepentingan pengusaha dalam proses legislasi.
Keempat, sistem moneter kapitalisme berbasis mata uang kertas (fiat money) yang tidak memiliki sandaran pada komoditas berharga seperti emas dan perak. Hal ini menjadikan sistem keuangan rapuh dan tidak stabil. Pencetakan uang yang tidak didukung cadangan emas menyebabkan penurunan nilai mata uang atau inflasi. Inflasi inilah yang secara langsung menurunkan daya beli masyarakat dari waktu ke waktu.
SOLUSI ISLAM DALAM MENGATASI MASALAH KETAHANAN PANGAN DAN DAYA BELI
Islam sebagai sistem hidup (way of life) memberikan solusi yang holistik terhadap persoalan kemiskinan dan daya beli. Beberapa solusi utama dari perspektif Islam adalah:
Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS)
Merupakan instrumen distribusi kekayaan yang wajib untuk membantu fakir miskin. Jika dikelola dengan profesional, ZIS dapat memperkuat daya beli masyarakat miskin dan mengurangi kesenjangan. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mencatat bahwa potensi zakat nasional mencapai lebih dari Rp327 triliun per tahun, namun baru sekitar 3% yang tergali.
Larangan Ihtikar (Penimbunan)
Islam melarang penimbunan barang untuk mencari keuntungan dengan menaikkan harga secara tidak wajar. Ini menjaga stabilitas pasar dan melindungi konsumen.
Rasulullah bersabda, Siapa yang menimbun, maka ia berdosa. (HR. Muslim)
Negara sebagai Penjamin Kebutuhan Dasar
Negara dalam Islam wajib menjamin kebutuhan dasar rakyatnya seperti pangan, papan, dan kesehatan. Ini bukan sekadar bantuan, tapi kewajiban negara.
Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sistem Ekonomi Tanpa Riba
Riba menindas rakyat kecil dan memperparah ketimpangan. Islam mendorong sistem keuangan berbasis bagi hasil dan kerja sama.
Distribusi Lahan dan Aset Produktif
Sejarah Islam mencatat adanya distribusi lahan kepada masyarakat yang siap mengelolanya, bukan hanya kepada elite. Ini mendorong kemandirian ekonomi.
Etos Kerja dan Amanah
Islam menanamkan nilai-nilai produktif, kejujuran, dan tanggung jawab sebagai fondasi membangun ekonomi umat.
Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri (HR. Bukhari)
Hanya sistem Islam memiliki solusi komprehensif melalui sistem ekonomi yang adil, distribusi kekayaan, dan penguatan peran negara. Jika solusi Islam ini diterapkan secara serius, maka bukan hanya daya beli masyarakat yang meningkat, tapi juga kemandirian dan keadilan ekonomi akan lebih mudah tercapai.
Wallohu 'alam
